Tindak
Pidana Khusus Pencucian Uang
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Pidana Khusus
Dosen Pengampu Sukartono
Damar
Ritonga
1509117225
PROGRAM
STUDI ILMU HUKUM
2017 / 2018
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Tindak Pidana Khusus Pencucian Uang”. Dan
Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Sukartono selaku Dosen mata kuliah
Hukum Pidana Khusus di Universitas Riau (UNRI) yang telah memberikan tugas ini
kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Tindak Pidana Pencucian
Uang. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya
kritik, dan saran serta usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang berkurang berkenaan dan penulis
memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.
Pekanbaru, 15 Juni 2017
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
.....................................................................................................i
Daftar Isi
..............................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah
..........................................................................1
1.2
Rumusan Masalah
...................................................................................1
1.3
Tujuan Penulisan .....................................................................................1
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian
dan Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang .....................2
2.2 Proses Pencucian Uang ............................................................................10
2.5 Peranan PPATK .......................................................................................13
Bab III Penutup .....................................................................................................15
Daftar Pustaka .......................................................................................................16
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah proses atau
perbuatan yang menggunakan uang hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan atau
dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul
uang yang sah atau yang halal dengan
kata lain, pencucian uang adalah proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan
harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan
dan penyitaan. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sering
dibicarakan dewasa ini, perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat,
juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian
nasional khususnya keuangan negara.
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan
pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku
kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum
mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil
kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan, terutama dalam
sistem perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk dilacak
oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang
hasil kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara
membeli saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki
keabsahan yuridis dalam operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para
penjahat yang diputar melalui proses-proses sepertinya menjadi sah adanya.
1. Apa pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan
bagaimana pengaturan hukum TPPU?
2. Bagaimana Proses Pencucian Uang?
3. Sanksi apa saja yang dijatuhkan pada pelaku Tindak
Pidana Pencucian Uang?
4. Apa saja kewajiban Penyedia Jasa Keuangan?
5. Apa saja peranan PPATK terkait Tindak Pidana Pencucian
Uang?
6. Bagaimana perlindungan bagi pelapor dan saksi?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Tindak Pidana Khusus.
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang
bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta
kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi
harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Sesuai dengan
Pasal 2 Undang-undang No.8 Tahun 2010, Harta Kekayaan yang diketahui atau patut
diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung
untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan
disamakan sebagai hasil tindak pidana
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius
terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan.
Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multi-dimensi dan bersifat
transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar.
Pada tahun 1988, United Nations Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih
dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia
menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU
No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang
bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan
untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank
maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas
pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan
rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar Negara-negara menciptakan
peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.
Upaya
pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan
pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap
kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam
pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime.
Konvensi ini mewajibkan Negara-negara penandatangan menjadikan pencucian uang
sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat. Selanjutnya pada
tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory
Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan
badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah
yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know
Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang
telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.
Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan
peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip
Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas
transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang
sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas
permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang
sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan.
Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini
belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri
sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian
uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai
peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan system finansial, dan
memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar
internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu
dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian
uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian
uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang
tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada
bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002
mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian
uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hokum pencucian
yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money
laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk
memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan
pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan
Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya
identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money
laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian
Uang.
Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari
daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan
mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money
laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika,
Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah
Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002
telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai
pencucian uang (money laundering).
Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan
yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai
setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan
korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja;
penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak,
wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian;
penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah
RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang
sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau
perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar
asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal
1 angka 1).
Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :
a.
Pengertian
Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang
memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum
diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia
jasa keuangan baru.
Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002:
“Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang
menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank,
lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali
amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana
pensiun, dan perusahaan asuransi”, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 :
“Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang
menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan
asuransi, dan kantor pos”.
b.
perluasan
definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni:
Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002: “Transaksi Keuangan Mencurigakan
adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan
pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh
nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”, menjadi:
Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
2. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan
yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini; atau
3. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan
dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c.
Pembatasan
jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena
penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil
tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan:
Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002:
“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh
secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan”:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyeludupan imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak, wanita, dan anak;
j. perdagangan senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan;
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia, menjadi
Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni:
1.
Hasil
tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan.
2.
Harta
Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana
terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n.
d.
Ruang lingkup
tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku
tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak
pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
a. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
d. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
e.
Jangka waktu penyampaian
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, dengan tujuan agar harta
kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana
pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana diatur berdasarkan:
-
Pasal 13 UU No.
15 Tahun 2002 : (2) “Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan”, menjadi:
-
Pasal 13 UU No.
25 Tahun 2003 : (2) “Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat
3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsure
Transaksi Keuangan Mencurigaka”.
f.
Terdapat
ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau
penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana
penjara, dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan
lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur berdasarkan:
Pasal 10A UU No.
25 Tahun 2003:
-
Pejabat atau
pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan
tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
-
Sumber
keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam
persidangan pengadilan.
-
Pejabat atau
pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena
kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-
Jika pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
g. Penjabaran
lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja sama
bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan
bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional
untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU
No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003
Dimuat dalam : Pasal 3 ( 1 ) Setiap orang yang
dengan sengaja:
a.
menempatkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama
pihak lain;
b.
mentransfer
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain,
baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.
membayarkan atau
membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain;
d.
menghibahkan
atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak
lain;
e.
menitipkan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.
membawa ke luar
negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana; atau
g.
menukarkan atau
perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya,
dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00
(lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian
uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
1. penempatan;
2. pentransferan;
3. pembayaran;
4. hibah;
5. sumbangan;
6. penitipan; atau
7. penukaran.
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar
rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 7 Setiap Warga Negara Indonesia
dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik
Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis
tindak pidana sebagai berikut :
1. Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk
menempatkan,mentransfer, membayar/membelanjakan, menghibahkan atau
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang
atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
2. Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
3. Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana.
Selain itu juga ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak
pidana pencucian uang :
1. penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan
laporan yang diwajibkan kepada PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara,
bila dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi
dalam 1 (satu) hari kerja;
2. setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau
keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk melapor kepada Dirjen
Bea dan Cukai;
3. bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa
keuangan yang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik
secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan
transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan
kepada PPATK;
4. larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang
lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menyebut nama atau alamat pelapor atau
hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
1. Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian
uang, namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam
tiga tahap kegiatan, yaitu:
a.
Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari
suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan
ini antara lain:
1.
Menempatkan dana
pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit/pembiayaan.
2.
Menyetorkan uang
pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
3.
Menyelundupkan
uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
4.
Membiayai suatu
usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.
5.
Membeli
barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan
hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang
pembayarannya dilakukan melalui PJK.
b.
Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya
yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat
proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai
hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang
kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana
tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:
1.
Transfer dana
dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
2.
Penggunaan
simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
3.
Memindahkan uang
tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell
company.
c.
Integration
adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak
sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk
kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis
yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu
mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan
asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara
aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau
simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih.
2. Modus operandi pencucian
uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan
rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement,
layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi
semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity
building) secara sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi
pencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010
setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana
karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010
setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penyedia Jasa Keuangan terbagi menjadi :
1.
Perbankan
Perbankan
merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan
menyalurkan dana, sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana
pencucian uang baik melalui placement, layering maupun
integration. Selain itu transfer dana secara elektronis juga dapat
dimanfaatkan oleh pencuci uang untuk mengalihkan dana secara cepat dan relatif
murah serta aman ke rekening pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri;
2.
Lembaga Keuangan
Non Bank
Perhatian
terhadap PJK yang berbentuk asuransi dan usaha investasi lainnya diperlukan
sebagai upaya untuk memastikan tidak dimanfaatkannya produk dan jasa PJK
tersebut untuk kegiatan pencucian uang.
3.
Perusahaan Efek,
Pengelola Reksa Dana dan Bank Kustodian
Selain
perbankan, asuransi dan usaha investasi lainnya, bentuk PJK lainnya dalam
pedoman ini adalah perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002.
Perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian wajib memiliki
prosedur yang memadai untuk membuktikan dan memverifikasi identitas
nasabah/calon nasabah, beneficial owner atau beneficiary
nasabahnya. Apabila perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian
tidak mengetahui secara pasti identitas nasabah/calon nasabah, maka hubungan
usaha dengan nasabah/calon nasabah tersebut dapat ditolak.
4.
Penyedia Jasa
Keuangan Lainnya
PJK lainnya
misalnya pedagang valuta asing (money changer) serta lembaga penyimpanan
dan penyelesaian wajib menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai
berikut:
a.
Transaksi
keuangan mencurigakan;
b.
Transaksi yang
dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam
satu kali transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sesuai
dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15
Tahun 2002, Bab 3 huruf C angka 3 pedoman ini dan ketentuan lainnya yang
ditetapkan oleh masing-masing lembaga pengawas.
Peraturan perundang-undangan mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk:
1.
Melaksanakan
prosedur identifikasi nasabah, atau biasa disebut Prinsip Mengenal Nasabah (know
your customer principles), merupakan hal yang sangat penting. Setiap PJK
harus menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh lembaga pengawas masing-masing PJK.
2.
Menyimpan
catatan dan dokumen mengenai identitas nasabah sampai dengan 5 (lima) tahun
sejak berakhirnya hubungan usaha dengan PJK. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan.
Dokumen ini diluar dokumen keuangan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor
8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
3.
Menyampaikan
laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:
a.
Transaksi
keuangan mencurigakan;
b.
Transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, baik
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja.
c.
Kewajiban
pelaporan bagi PJK tersebut di atas berlaku sejak Oktober 2003 dengan mengacu
pada pedoman pelaporan yang akan dikeluarkan oleh PPATK.
4.
Bagi PJK yang
berbentuk bank, kewajiban pelaporan tersebut di atas dikecualikan dari
ketentuan rahasia bank, sehingga bank dan petugas pelapor tidak melanggar
ketentuan rahasia bank.
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan) adalah sebuah lembaga independen yang terbentuk bersamaan dengan UU
No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Peranan PPATK yakni:
Dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, ppatk memiliki peranan
strategis Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang
termasuk berbagai tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang tidak
sah.
Untuk
menunjang peranan tersebut ppatk memiliki tugas pokok adalah membantu penegak
hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang
dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada
PPATK.
Untuk
melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat
pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) dalam mendeteksi perilaku pengguna
jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pedoman ini
yang dimaksud dengan PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, pedagang valuta asing,
dana pensiun dan perusahaan asuransi.
A.
Perlindungan
bagi Pelapor
1.
Pelaksanaan
pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia
bank sebagaimana diatur oleh Undang-undang Perbankan;
2.
Pelapor tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban
pelaporannya;
3.
PPATK, penyidik,
penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor;
4.
Setiap orang
yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi
perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
5.
Disidang
pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang
menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat
terungkapnya identitas pelapor.
B.
Perlindungan
bagi Saksi
1. Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh
negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya
termasuk keluarganya.
2. Saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau
pidana atas kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang
pencucian uang, berarti menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak
pidana (kejahatan) yang harus ditindak tegas oleh para penegak hukum yang
berwenang.
Dengan
adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai perwujudan
rasa keadilan. Sanksi tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Selain itu
pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan hukum dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk
keluarganya. Dalam kasus money laundering kepolisian dan penuntut umum
juga memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian
uang karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup
alat bukti.