Minggu, 11 Juni 2017

Norma - Norma Hukum



A.    Pengertian Norma
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan Pedoman, Patokan atau Aturan.
Norma mula-mula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.
Sampai saat ini, baik pengertian kaidah maupun norma dipakai secara bersamaan oleh para sarjana Indonesia. Dalam bukunya “Prihal Kaidah Hukum”, Soerjono Soekanto dan Punardi Purbacaraka mengemukakan, bahwa kaedah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman  untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaedah merupakan perumusan suatu pandangan (“oordeel”) mengenai perikelakuan atau pun sikap tindak.
Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma mengatur tata cara berhubungan dengan orang lain, atau terhadap lingkungannya, atau juga dengan kata lain norma dijumpai dalam suatu pergaulan hidup manusia.
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa kadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum Negara yang kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/ pendapat masyarakat.



B.     Hukum Sebagai Sistim Norma yang Dinamik
Menurut Hans Kalsen hukum adalah termasuk dalam system norma yang dinamik (nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi berlakunya atau pembentuknya.
Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi.

C.    Dinamika Norma Hukum Vertikal dan Horizontal
Dinamika Norma Hukum yang Vertical adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertical ini suatu norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada hukum norma hukum diatasnya, norma hukum yang berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum di atasnya, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum dibawahnya. Begitu pula dinamika norma hukum dari atas ke bawah.
Dinamika yang vertical ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum yang ada di Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945; demikian juga norma-norma hukum yang berada dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) , dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan MPR ini menjadi Sumber dan dasar bagi pembentukan Norma-Norma dalam Undang-Undang, demikian seterusnya kebawah.
Dinamika norma hukum yang Horizontal adalah dinamika yang bergerak kesamping. Dikatakan kesamping dikarenakan adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa. Contohnya, dalam kasus tentang “perkosaan”, seorang hakim telah mengadakan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang “perusakan Barang” sehingga terhadapa suatu “perkosaan”, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan pembayaran ganti rugi.



D.    Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya
Perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya adalah sebagai berikut:
1.        Suatu norma hukum bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang. Norma-norma lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu datangnya dati dalam diri seseorang.
2.        Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik.
3.        Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat Negara, sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.

E.    Norma Hukum Umum dan Norma Hukum Individual
Apabila suatu norma hukum itu dilihat dari segi alamat  yang dituju, atau siapa norma hukum itu ditunjukan atau diperuntukan, dapat dibedakan antara norma hukum umum dan norma hukum individual, yang biasa disebut dengan subyek hukum.
Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk orang banyak, umum, dan tidak tertentu. ‘Umum’ di sini  dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditunjukan untuk semua orang atau semua warganegara. Norma hukum umum ini sering dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut:
-          Barangsiapa... dst
-          Setiap orang… dst
-          Setiap warganegara…dst
Norma Hukum Individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang tertentu, sehingga norma hukum yang individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
1.             Syafei bin Muhammad Syukri yang bertempat tinggal di Jl. Flamboyan No. 10 Jakarta…dst ;
2.             Para pengemudi bis kota Mayasari Bakti jurusan Blok M – Rawamangun yang beroperasi antara jam 7.00 sampai jam 8.00 pagi pada tanggal 1 Oktober 2006… dst.



F.     Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma hukum abstrak  adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti konkrit. Sedangkan norma hukum konkrit adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkrit)
Dari sifat-sifat norma hukum yan umum-individul dan norma hukum abstrak-konkrit, terdapat empat paduan kombinasi dari norma-norma tersebut, yaitu:
1.        Norma Hukum umum-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak.
2.        Norma Hukum umum-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu.
3.        Norma Hukum individual-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak
4.        Norma Hukum individual-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkrit.

G.     Norma Hukum yang Terus-Menerus dan Norma Hukum yang Sekali-Selesai
Norma hukum yang berlaku terus-menerus adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, hingga peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru.
Norma hukum yang berlaku Sekali-Selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum selesai.

H.    Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum Berpasangan
Yang dimaksud dengan norma hukum tungal adalah norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti dengan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum ini hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang bertindak atau bertingkah laku sebagaimana mestinya. Adapun norma hukum berpasangan itu terbagi 2, yaitu :
1.        Norma hukum primer, berisi tentang aturan atau patokan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam masyarakat. Sedang
2.        Norma hukum sekunder, berisi tentang cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak terpenuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman untuk para penegak hukum dalam bertidak apabila norma hukum primer tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini juga mengandung sanksi.

I.    Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Menurut D.W.P Ruiter, dalam keputusan di Eropa Kontinental, yang dimaksud peraturan perundang-undangan atau wet in matereielezin mengandung tiga unsur, yaitu:
a.         Norma Hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa (1) perintah, (2) larangan, (3) pengizinan, (4) pembebasan.
b.        Norma berlaku ke luar
 Riuter berpendapat bahwa, di dalam peraturan perundangan-undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk, dalam organisasi pemerintah. Norma hanya ditunjukan  kepada rakyat dan pemerintah, hubungan antar sesamanya, maupun antar rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi pemerintah dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut “berlaku ke luar”.
c.         Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu ditunjukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu.
Menurut Ruiter, sebuah norma mengandung beberapa unsur, diantaranya : cara keharusan berperilaku (operator norma), seseorang atau sekolompok orang adresat (subyek norma), perilaku yang dirumuskan (obyek norma), dan syarat-syaratnya (kondisi norma). Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun
Setiap orang                  = obyek norma;
Wajib                             = operator norma;
Membayar pajak            = obyek norma;
Pada akhir tahun           = kondisi norma.

   J.       Hubungan Pertanggung jawaban Perbuatan
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum penjara paling lama 15 tahun.
Contoh di atas terlihat antara norma hukum primer dengan norma hukum sekunder seperti hubungan sebab-akibat (kausalitat). Padahal pendapat seperti itu adalah salah. Hubungan sebab-akibat hanya diperlukan dalam ilmu alam. Dalam ilmu alam sesuatu kondisi/keadaan tertentu akan selalu menimbulkan gejala dan akibat yang tertentu juga. Sedangkan norma hukum primer dan norma hukum sekunder, sesuatu perbautan tertentu tidak selalu akan mengakibatkan kondisi/keadaan yang tertentu, atau dengan kata lain suatu perbuatan tertentu dapat mengakibatkan keadaan/kondisi yang berbeda, tergantung pada hal-hal yang mempengaruhi seseorang atau perbuatan tersebut.

K.      Daya Laku dan Daya Guna
Suatu norma itu berlaku karena ia mempunya “daya laku” (validitas) atau karena ia mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau lembaga yang berwenang membentuknya, misalnya suatu peraturan pemerintah adalah sah apabila dibentuk oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang dan bedasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, atau suatu keputusan Presiden yang dibentuk oleh Presiden bedasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945.
Dalam pelaksanaanya, berlakunya suatu norma karena adanya daya laku, dihadapkan pula pada daya guna (efficaci) dari norma tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat apakah suatu norma yang ada dan berdaya laku itu berdaya guna secara efektif atau tidak, atau dipatuhi atau tidak. Dalam hal ini dapat pula terjadi bahwa suatu ketentuan dalam sebuah perundang-undangan tidak berdaya guna lagi walaupun peraturan itu tersebut masih berdaya laku (belum dicabut).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar